“Bagaimana Hukum Memakai Cadar?” ketegori Muslim. Sebagaimana
kita ketahui, banyak dari umat muslimah yang menggunakan cadar untuk
menutupi wajahnya. Apakah ada hukum fikih yang mengatur hal tersebut?
Kemudian bagaimana kaitannya dengan aurat muslimah berupa wajah dan
telapak tangan. Wallahu’alam.
Muhamad Kasyful
Jawaban
Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh,
Masalah kewajiban memakai cadar sebenarnya tidak disepakati oleh para
ulama. Maka wajarlah bila kita sering mendapati adanya sebagian ulama
yang mewajibkannya dengan didukung dengan sederet dalil dan hujjah.
Namun kita juga tidak asing dengan pendapat yang mengatakan bahwa cadar
itu bukanlah kewajiban. Pendapat yang kedua ini pun biasanya diikuti
dengan sederet dalil dan hujjah juga.
Dalam kesempatan ini, marilah kita telusuri masing-masing pendapat
itu dan berkenalan dengan dalil masing-masing. Sehingga kita bisa
memiliki wawasan dalam memasuki wilayah ini bukan mencari titik
perbedaan dan berselisih pendapat, melainkan untuk memberikan gambaran
yang lengkap tentang dasar kedua pendapat ini. Agar kita bisa berbaik
sangka dan tetap menjaga hubungan baik dengan kedua belah pihak.
1. Kalangan yang Mewajibkan Cadar
Mereka yang mewajibkan setiap wanita untuk menutup muka berangkat dari pendapat bahwa wajah itu bagian dari aurat wanita yang wajib ditutup dan haram dilihat oleh lain jenis non mahram.
Dalil-dalil yang mereka kemukakan antara lain:
a. Surat Al-Ahzab: 59
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu
dan isteri-isteri orang mu`min, Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya
ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat ini adalah ayat yang paling utama dan paling sering dikemukakan
oleh pendukung wajibnya niqab. Mereka mengutip pendapat para mufassirin
terhadap ayat ini bahwa Allah mewajibkan para wanita untuk menjulurkan
jilbabnya keseluruh tubuh mereka termasuk kepala, muka dan semuanya,
kecuali satu mata untuk melihat. Riwayat ini dikutip dari pendapat Ibnu
Abbas, Ibnu Mas`ud, Ubaidah As-Salmani dan lainnya, meskipun tidak ada
kesepakatan di antara mereka tentang makna `jilbab` dan makna
`menjulurkan`.
Namun bila diteliti lebih jauh, ada ketidak-konsistenan nukilan
pendapat dari Ibnu Abbas tentang wajibnya niqab. Karena dalam tafsir di
surat An-Nuur yang berbunyi , Ibnu Abbas justru berpendapat sebaliknya.
Para ulama yang tidak mewajibkan niqab mengatakan bahwa ayat ini sama
sekali tidak bicara tentang wajibnya menutup muka bagi wanita, baik
secara bahasa maupun secara `urf . Karena yang diperintahkan jsutru
menjulurkan kain ke dadanya, bukan ke mukanya. Dan tidak ditemukan ayat
lainnya yang memerintahkan untuk menutup wajah.
b. Surat An-Nuur: 31
Katakanlah kepada wanita yang beriman,
Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya.
Menurut mereka dengan mengutip riwayat pendapat dari Ibnu Mas`ud
bahwa yang dimaksud perhiasan yang tidak boleh ditampakkan adalah wajah,
karena wajah adalah pusat dari kecantikan. Sedangkan yang dimaksud
dengan `yang biasa nampak` bukanlah wajah, melainkan selendang dan baju.
Namun riwayat ini berbeda dengan riwayat yang shahih dari para
shahabat termasuk riwayat Ibnu Mas`ud sendiri, Aisyah, Ibnu Umar, Anas
dan lainnya dari kalangan tabi`in bahwa yang dimaksud dengan `yang biasa
nampak darinya` bukanlah wajah, tetapi al-kuhl dan cincin. Riwayat ini
menurut Ibnu Hazm adalah riwayat yang paling shahih.
c. Surat Al-Ahzab: 53
`Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka, maka mintalah dari
belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati
mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti Rasulullah dan tidak mengawini
isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan
itu adalah amat besar di sisi Allah.
Para pendukung kewajiban niqab juga menggunakan ayat ini untuk
menguatkan pendapat bahwa wanita wajib menutup wajah mereka dan bahwa
wajah termasuk bagian dari aurat wanita. Mereka mengatakan bahwa meski
khitab ayat ini kepada istri Nabi, namun kewajibannya juga terkena
kepada semua wanita mukminah, karena para istri Nabi itu adalah teladan
dan contoh yang harus diikuti.
Selain itu bahwa mengenakan niqab itu alasannya adalah untuk menjaga
kesucian hati, baik bagi laki-laki yang melihat ataupun buat para istri
nabi. Sesuai dengan firman Allah dalam ayat ini bahwa cara yang demikian
itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka .
Namun bila disimak lebih mendalam, ayat ini tidak berbicara masalah
kesucian hati yang terkait dengan zina mata antara para shahabat
Rasulullah SAW dengan para istri beliau. Kesucian hati ini kaitannya
dengan perasaan dan pikiran mereka yang ingin menikahi para istri nabi
nanti setelah beliau wafat. Dalam ayat itu sendiri dijelaskan agar
mereka jangan menyakiti hati nabi dengan mengawini para janda istri
Rasulullah SAW sepeninggalnya. Ini sejalan dengan asbabun nuzul ayat ini
yang menceritakan bahwa ada shahabat yang ingin menikahi Aisyah ra.
bila kelak Nabi wafat. Ini tentu sangat menyakitkan perasaan nabi.
Adapun makna kesucian hati itu bila dikaitkan dengan zina mata antara
shahabat nabi dengan istri beliau adalah penafsiran yang terlalu jauh
dan tidak sesuai dengan konteks dan kesucian para shahabat nabi yang
agung.
Sedangkan perintah untuk meminta dari balik tabir, jelas-jelas
merupakan kekhusususan dalam bermuamalah dengan para istri Nabi. Tidak
ada kaitannya dengan `al-Ibratu bi `umumil lafzi laa bi khushushil
ayah`. Karena ayat ini memang khusus membicarakan akhlaq pergaulan
dengan istri nabi. Dan mengqiyaskan antara para istri nabi dengan
seluruh wanita muslimah
adalah qiyas yang tidak tepat, qiyas ma`al-fariq. Karena para istri
nabi memang memiliki standar akhlaq yang khusus. Ini ditegaskan dalam
ayat Al-Quran.
`Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa.
Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah
orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang
baik.`
d. Hadits Larang Berniqab bagi Wanita Muhrim
Para pendukung kewajiban menutup wajah bagi muslimah menggunakan
sebuah hadits yang diambil mafhum mukhalafanya, yaitu larangan
Rasulullah SAW bagi muslimah untuk menutup wajah ketika ihram.
`Janganlah wanita yang sedang berihram menutup wajahnya dan memakai sarung tangan`.
Dengan adanya larangan ini, menurut mereka lazimnya para wanita itu
memakai niqab dan menutup wajahnya, kecuali saat berihram. Sehingga
perlu bagi Rasulullah SAW untuk secara khusus melarang mereka.
Seandainya setiap harinya mereka tidak memakai niqab, maka tidak mungkin
beliau melarangnya saat berihram.
Pendapat ini dijawab oleh mereka yang tidak mewajibkan niqab dengan
logika sebaliknya. Yaitu bahwa saat ihram, seseorang memang dilarang
untuk melakukan sesuatu yang tadinya halal. Seperti memakai pakaian yang
berjahit, memakai parfum dan berburu. Lalu saat berihram, semua yang
halal tadi menjadi haram. Kalau logika ini diterapkan dalam niqab,
seharusnya memakai niqab itu hukumnya hanya sampai boleh dan bukan
wajib. Karena semua larangan dalam ihram itu hukum asalnya pun boleh dan
bukan wajib. Bagaimana bisa sampai pada kesimpulan bahwa sebelumnya
hukumnya wajib?
Bahwa ada sebagian wanita yang di masa itu menggunakan penutup wajah,
memang diakui. Tapi masalahnya menutup wajah itu bukanlah kewajiban.
Dan ini adalah logika yang lebih tepat.
e. Hadits bahwa Wanita itu Aurat
Diriwayatkan oleh At-Tirmizy marfu`an bahwa,
Wanita itu adalah aurat, bila dia keluar rumah, maka syetan menaikinya`.
Menurut At-turmuzikedudukan hadits ini hasan shahih. Oleh para
pendukung pendapat ini maka seluruh tubuh wanita itu adalah aurat,
termasuk wajah, tangan, kaki dan semua bagian tubuhnya. Pendapat ini
juga dikemukakan oleh sebagian pengikut Asy-Syafi`iyyah dan
Al-Hanabilah.
f. Mendhaifkan Hadits Asma`
Mereka juga mengkritik hadits Asma` binti Abu Bakar yang berisi
bahwa, Seorang wanita yang sudah hadih itu tidak boleh nampak bagian
tubuhnya kecuali ini dan ini Sambil beliau memegang wajar dan tapak
tangannya.
* * *
2. Kalangan yang Tidak Mewajibkan Cadar
Sedangkan mereka yang tidak mewajibkan cadar berpendapat bahwa wajah
bukan termasuk aurat wanita. Mereka juga menggunakan banyak dalil serta
mengutip pendapat dari para imam mazhab yang empat dan juga pendapat
salaf dari para shahabat Rasulullah SAW.
a. Ijma` Shahabat
Para shahabat Rasulullah SAW sepakat mengatakan bahwa wajah dan tapak
tangan wanita bukan termasuk aurat. Ini adalah riwayat yang paling kuat
tentang masalah batas aurat wanita.
b. Pendapat Para Fuqoha bahwa Wajah Bukan termasuk Aurat Wanita.
Al-Hanafiyah mengatakan tidak dibenarkan melihat wanita ajnabi yang
merdeka kecuali wajah dan tapak tangan. . Bahkan Imam Abu Hanifah ra.
sendiri mengatakan yang termasuk bukan aurat adalah wajah, tapak tangan
dan kaki, karena kami adalah sebuah kedaruratan yang tidak bisa
dihindarkan.
Al-Malikiyah dalam kitab `Asy-Syarhu As-Shaghir` atau sering disebut
kitab Aqrabul Masalik ilaa Mazhabi Maalik, susunan Ad-Dardiri dituliskan
bahwa batas aurat waita merdeka dengan laki-laki ajnabi adalah seluruh
badan kecuali muka dan tapak tangan. Keduanya itu bukan termasuk aurat.
Asy-Syafi`iyyah dalam pendapat As-Syairazi dalam kitabnya
`al-Muhazzab`, kitab di kalangan mazhab ini mengatakan bahwa wanita
merdeka itu seluruh badannya adalah aurat kecuali wajah dan tapak
tangan.
Dalam mazhab Al-Hanabilah kita dapati Ibnu Qudamah berkata kitab
Al-Mughni 1: 1-6,`Mazhab tidak berbeda pendapat bahwa seorang wanita
boleh membuka wajah dan tapak tangannya di dalam shalat
Daud yang mewakili kalangan zahiri pun sepakat bahwa batas aurat wanita
adalah seluruh tubuh kecuai muka dan tapak tangan. Sebagaimana yang
disebutkan dalam Nailur Authar. Begitu juga dengan Ibnu Hazm
mengecualikan wajah dan tapak tangan sebagaiman tertulis dalam kitab
Al-Muhalla.
c. Pendapat Para Mufassirin
Para mufassirin yang terkenal pun banyak yang mengatakan bahwa batas aurat wanita
itu adalah seluruh tubuh kecuali muka dan tapak tangan. Mereka antara
lain At-Thabari, Al-Qurthubi, Ar-Razy, Al-Baidhawi dan lainnya. Pendapat
ini sekaligus juga mewakili pendapat jumhur ulama.
d. Dhai`ifnya Hadits Asma Dikuatkan oleh Hadits Lainnya
Adapun hadits Asma` binti Abu Bakar yang dianggap dhaif, ternyata tidak
berdiri sendiri, karena ada qarinah yang menguatkan melalui riwayat
Asma` binti Umais yang menguatkan hadits tersebut. Sehingga ulama modern
sekelas Nasiruddin Al-Bani sekalipun meng-hasankan hadits tersebut
sebagaimana tulisan beliau `hijab wanita muslimah`, `Al-Irwa`, shahih
Jamius Shaghir dan `Takhrij Halal dan Haram`.
e. Perintah Kepada Laki-laki untuk Menundukkan Pandangan.
Allah SWt telah memerintahkan kepada laki-laki untuk menundukkan pandangan . Hal itu karena para wanita muslimah memang tidak diwajibkan untuk menutup wajah mereka.
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: `Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang mereka perbuat.
Dalam hadits Rasulullah SAW kepada Ali ra. disebutkan bahwa,
Janganlah kamu mengikuti pandangan pertama dengan pandangan
berikutnya. Karena yang pertama itu untukmu dan yang kedua adalah
ancaman/dosa.
.
Bila para wanita sudah menutup wajah, buat apalagi perintah
menundukkan pandangan kepada laki-laki. Perintah itu menjadi tidak
relevan lagi.
wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar